Seputar spiritual, meditasi dan Reiki
Seputar spiritual, meditasi dan Reiki

Call us:+62 081 6533 777

Apakah Ch’an itu?

Ch’an: Metode Praktek Spiritual

Ch’an, bila dipahami sebagai sebuah praktek spiritual, ialah sebuah mazhab Buddhisme yang berkembang di China dari Buddhisme dhyana India, yang diperkenalkan oleh para guru India ke China sejak abad ke tiga. Disiplin mental serta praktek spiritual dhyana, yang bertujuan mencapai suatu keadaan pikiran yang khusyuk melalui konsentrasi, adalah praktek yang umum pada semua agama India, termasuk Hinduisme dan Buddhisme, serta masih digunakan dalam yoga sampai sekarang. Di China, dhyana dilafalkan sebagai “ch’an”, dan teknik-teknik meditasinya dipelajari dengan penuh semangat oleh orang Cina. Akan tetapi, seiring jalannya waktu, Ch’an mengembangkan penekanan yang berbeda dari dhyana yang ada di India waktu itu. Ch’an kemudian me nyebar ke bagian-bagian Asia lainnya, dan disebut Zen di Jepang, Son di Korea, dan Thien di Vietnam.

Agama-agama India mengajarkan metode meditasi dan konsentrasi dhyana untuk memungkinkan orang membebaskan dirinya dari kondisi spiritual mereka yang tak memuaskan: afliksi (gangguan-emosi), beban, serta masalah-masalah dalam pikiran manusia. Gangguan kekesalan-kekesalan ini disebabkan oleh hasrat-hasrat kita; kondisi pemikiran kita yang terpencar-pencar membuat kita sulit untuk melihat dan memahami hal ini. Seseorang yang memulai latihan Ch’an perlu menggunakan teknik-teknik konsentrasi dasar untuk menenangkan dan menyatukan pikiran. Teknik-teknik ini mencakup konsentrasi pada nafas, pada tubuh (misalnya, pada gerakan-gerakan atau kekotoran tubuh), dan pada suara-suara seperti misalnya air yang mengalir.

Tujuan dari teknik-teknik konsentrasi tersebut adalah untuk membawa pikiran – dari keadaan pemikiran terpencar serta perasaan-perasaan yang kacau dan keterbelengguan, mula-mula ke keadaan konsentrasi dan kemudian ke keadaan dimana pemisahan antara yang eksternal dan internal lenyap. Tetapi ini barulah tahap pertama dalam praktek Ch’an. Ch’an tidak bergantung pada, dan melampaui, teknik-teknik konsentrasi dhyana.

Teknik-Teknik Para Patriakh yang Fleksibel

Kita bisa menjumpai instruksi metode-metode Ch’an sebagai praktek spiritual dalam ajaran para patriarkh, para master yang diakui dan dihormati dari masa lampau.

Master Shandou (480-560) mengajarkan metode dhyana persis seperti yang ditransmisikan dari India. Salah satu metodenya adalah Empat Fondasi Mindfulness.

Pertama-tama sang praktisi memeditasikan (sifat) ketidakbersihan atau kekotoran tubuh, misalnya proses pencernaan. Berikutnya, ia memeditasikan tentang sensasi, serta hakekat sifat sensasi yang secara esensialnya adalah penderitaan, tak-memuaskan. Sensasi pada dasarnya adalah tak-memuaskan (Sanskrit: duhkha; Pali: dukkha), atau tidak mampu untuk benar-benar memberikan kepuasan sempurna, sebabnya sederhana saja – karena bahkan sensasi-sensasi yang menyenangkanpun kondisional dan (pasti) akan berlalu.

Sebagai contoh: kebahagiaan kita tergantung pada kesehatan kita dan kesehatan keluarga kita, pekerjaan kita, apakah negara kita sedang damai atau tidak, dan seterusnya. Semua hal ini tidak permanen. Sebagian pengalaman-kejadian secara inheren (bawaan) memang menyakitkan, dan bahkan hal-hal yang kita nikmatipun akan menyebabkan kita menderita ketika kita kehilangan hal-hal itu.

Selanjutnya, sang praktisi memeditasikan tentang sifat ketakpermanenan pikiran dan ketiadaan suatu ‘diri’ yang sejati atau permanen sebagai pusat dari keberadaan psikofisik seseorang. Meditasi keempat adalah tentang sifat ketidak-permanenan semua dharma, artinya semua fenomena. Ini mencakup ketiga praktek mindfulness (perhatian-penuh) sebelumnya.

Patriarkh Ch’an keempat, Daoxin (580-651) mengajarkan teknik-teknik meditasi dhyana dalam Metode-Metode Praktis Esensial untuk Memurnikan Pikiran. Ia menyarankan para praktisi untuk memulai praktek Ch’an dengan sekedar mengamati pikiran. Ia menyuruh untuk duduk (meditasi) sendiri di sebuah tempat yang tenang, tegak lurus, dengan pakaian longgar sehingga anda tidak terkekang. Biarkan tubuh dan pikiran anda rileks sepenuhnya, dan kemudian gosok-pijatlah diri anda sendiri dari kepala sampai kaki beberapa kali. Selaraskan tubuh dan pikiran anda, dan amatilah pemikiran dan perasaan anda tanpa menjadi terlibat dengannya.

Daoxin juga mendeskripsikan keadaan-keadaan konsentrasi yang semakin mendalam yang bisa dilalui seorang praktisi. Pertama, sang praktisi mengalami dunia luar maupun dalam sebagai kosong dan murni. Ia menempuh keadaan-keadaan konsentrasi yang semakin mendalam sampai semua pemikiran lenyap, dan bahkan pemikiran untuk mengkonsentrasikan pikiranpun tidak ada. Akhirnya, sang praktisi melampaui semua alam mental ‘mengalami’ dan bergerak melewati keadaan – konsentrasi menuju penyatuan antara yang di-luar dan yang di-dalam (diri). Semua pembedaan lenyap¹.

Di setiap jaman dan setiap tempat, banyak metode praktek yang telah digunakan. Teknik-teknik Ch’an itu fleksibel dan mudah diadaptasikan. Karena situasi yang terus berubah dan tipe orang yang berbeda-beda, seorang guru menggunakan metode yang berlainan untuk menuntun setiap orang ke arah pencerahan.

Pernah seorang awam bertanya kepada Patriarkh Keenam, Huineng, “Bukankah berpraktek meditasi dan samadhi untuk mendapatkan pembebasan itu perlu?”.

Patriarkh Keenam menjawab, “Tidak. Jalan ini (sifat dasar realitas yang hakiki) direalisasi oleh pikiran. Bagaimana ia bisa eksis dalam tindakan duduk?”

Metode hanyalah cara yang berguna untuk menjernihkan pikiran. Karena itu metode harus digunakan secara luwes.

Dalam periode T’ang (618-907), banyak master terkenal menggunakan teknik-teknik yang tidak lumrah untuk menuntun orang menuju pencerahan. Master Deshan Xuanjian (dalam bahasa Jepang: Tokusan, 781-867) terkenal karena memukul para muridnya dengan tongkat. Ia mula-mula adalah seorang cendekiawan Buddhist dan seorang pakar bidang Sutra Intan, yang merupakan salah satu naskah terpenting dalam Ch’an. Sesudah seorang perempuan tua awam dengan hanya sebuah pertanyaan tunggalnya saja telah membuat Deshan Xuanjian mengerti bahwa ia sesungguhnya belum memahami makna yang lebih dalam dari Sutra Intan tersebut, ia lalu pergi ke biara-mendedikasikan dirinya untuk menginvestigasi Ch’anº. Pada akhirnya ia menjadi kepala biara di Gunung Deshan, dan bila ia mengajukan pertanyaan kepada para muridnya, apakah mereka menjawab ataupun diam, ia akan memukul mereka. Ini bukanlah sekedar ketokan ringan tetapi kadang berupa hantaman yang sangat keras. –

Linji Yixuan (Rinzai, ?-866), pendiri sekte Linji dari Ch’an, membantu para muridnya dengan berteriak kepada mereka. Zhaozhou (Joshu) hanya menyuruh para muridnya untuk pergi dan mengambil secangkir teh. Master Shigun dari abad ke delapan menjawab “Perhatikan aku menembakkan panah ini” pada semua pertanyaan tentang Buddhisme.

Para master Ch’an ini menjadi terkenal karena metode-metode mereka yang luar biasa, tetapi mereka tidak menggunakan metode yang sama secara mekanis kepada setiap orang. Deshan tidak memukul seseorang yang belum siap memetik manfaat dari pukulannya, dan Linji tidak berteriak pada seseorang yang belum siap untuk memetik manfaat dari sebuah teriakan. Jikalau seorang master Ch’an sedemikian kaku dalam metode-metode pengajarannya, kita harus menganggapnya agak gila.

Pertimbangkan master dari abad ke sembilan, Huangbo Xiyun (Obaku Kiun, ?-850), yang tulisan-tulisannya telah lama diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Huangbo menyuruh para rahibnya untuk makan sepanjang hari tetapi jangan pernah menggigit sebutir nasipun, dan berjalan sepanjang hari tetapi jangan pernah menginjak seinchi tanahpun. Yang ia maksudkan ialah bahwa kita tak pernah boleh memisahkan diri kita dari urusan-urusan kehidupan biasa, tetapi kita juga jangan membiarkan diri kita dikendalikan oleh lingkungan atau kondisi eksternal kita.

Apabila kita bisa melakukan hal ini, kita tidak lagi melekat pada diri, dan tidak lagi berpegang pada konsep bahwa diri dan orang lain itu beda. Hanya orang yang hidup dengan cara ini yang benar-benar bebas dan ringan. Seseorang yang bebas dari kemelekatan pada diri akan terlibat secara positif dengan kehidupan namun tak bereaksi secara kacau, cemas, atau menderita terhadap berbagai peristiwa, orang lain, atau lingkungan sekitar.

Huangbo menekankan bahwa anda dapat menjalankan praktek spiritual dalam situasi apapun. Anda tidak harus meninggalkan masyarakat atau menjadi rahib. Inilah yang jadi keyakinan dalam Ch’an. Bilamana kita dapat mencapai keadaan pikiran yang dideskripsikannya, maka kita akan menjadi orang yang telah tercerahkan secara mendalam – layak menjadi great Ch’an master.

Ch’an: Kebijaksanaan yang Menakjubkan, Subtil, dan Tak-Terjelaskan

Dalam Ch’an, teknik-teknik dhyana untuk mengembangkan konsentrasi dan memasuki samadhi umumnya digunakan oleh para pemula. Seorang praktisi yang berpengalaman tak lagi membutuhkan teknik-teknik semacam itu. Ch’an sendiri pada akhirnya bukanlah teknik atau metode, tetapi lebih berupa Jalan yang anda capai dengan penerapan metode-metode praktek. Ini membawa kita ke definisi kedua Ch’an: Ch’an adalah kebijaksanaan’ yang menakjubkan, subtil, dan tak-terjelaskan.

Ch’an itu tak-terjelaskan karena kita tidak bisa mengekspresikan, mendeskripsikan, atau menjelaskannya dengan kata-kata, juga kita tidak bisa membayangkannya atau memahaminya dengan pikiran konseptual kita. Apapun yang dapat kita ekspresikan dalam bahasa, tak peduli betapapun bagusnya, bukanlah Ch’an.

Mari kita lihat beberapa contoh para master Ch’an yang menunjukkan Ch’an, di dalam batasan-batasan bahasa. Sutra Altar, salah satu teks Ch’an yang paling berpengaruh, mencatat kehidupan dan ajaran Patriakh Keenam Ch’an, Huineng.

Setelah mencapai realisasinya akan Dharma, Huineng menerima jubah dan mangkuk sang Buddha dari Patriarkh Ch’an Kelima. Ini menyimbolkan bahwa ia menjadi Patriarkh Keenam, yang memberinya wewenang untuk mentransmisikan Dharma. Karena posisinya cuma rendahan di biara tersebut, dan para bhiksu belum mengetahui bahwa ia telah mendapat suatu pencapaian, maka hal ini jadi kontroversi besar. Huineng kemudian dinasehati oleh Patriakh Kelima untuk kabur dari biara sehingga yang lain-lainnya tidak dapat mencelakakannya karena cemburu. Ia pergi ke pegunungan di Cina selatan, dimana ia berdiam selama sepuluh tahun.

Akan tetapi, beberapa bhiksu terus memburunya, termasuk Huiming, seorang mantan jenderal yang perkasa dan berkemauan kuat. Ketika Huiming berhasil mengejarnya, sang Patriarkh Keenam menaruh jubah dan mangkuk sang Buddha, simbol dari pentransmisian Dharma, di atas sebuah batu, dan berkata, “Ini, ambillah. Aku tak mau bertengkar denganmu karena benda-benda ini”.

Huiming berusaha mengambilnya tetapi tidak bisa menggerakkannya. Terkejut dan terkesan, ia berkata, “Aku tidak datang untuk jubah dan mangkuk, aku datang untuk Dharma”.

Huineng kemudian menyampaikan ajaran pertamanya sebagai seorang master Dharma. Ia menanyai Huiming, “Tidak berpikir tentang kebaikan atau kejahatan, siapakah yang berdiri di hadapanku ini?”. Ini masih menjadi pertanyaan bagus bagi kita sekarang ini. Dapatkah anda menjawabnya?

Master Baizhang Huaihai, (Hyakujo, 720-814) menunjukkan Ch’an sebagai kebijaksanaan yang tak-terjelaskan ketika ia berkata kepada seorang bhiksu, “Katakanlah sesuatu padaku tanpa menggunakan mulutmu, tenggorokanmu, atau bibirmu”.

Baizhang mengekspresikan ide yang sama dengan cara yang berbeda ketika ia mengatakan bahwa kebijaksanaan sejati Buddha dicapai ketika anda tidak lagi terbatasi oleh segala macam konsep, termasuk: baik dan jahat, kekotoran dan kemurnian, teknik, metode, berkah spiritual, dan urusan duniawi. Jika anda dapat meninggalkan semua kemelekatan pada konsep-konsep, berarti anda telah mencapai kebijaksanaan sejati sang Buddha. Baizhang menyertakan fu, yang secara spesifik mengacu pada perolehan merit (karma-baik/pahala) dari perbuatan baik, ke dalam daftar konsep-konsep yang harus pula kita lampaui. Kaum Budhist Cina sering melekat pada sikap memburu pahala dari perbuatan baik, bahkan sampai masa sekarang ini sekalipun.

Ch’an adalah suatu bentuk praktek spiritual, Ch’an adalah kebijaksanaan yang tak-terjelaskan, tetapi Ch’an adalah juga segala fenomena. Tak ada sesuatupun yang bukan dia, dan tak ada tempat yang tidak ada dia. Shakyamuni Buddha berkata bahwa semua dharma adalah Buddhadharma. Kita bisa juga mengatakan, “Semua dharma adalah Dharma Ch’an”. “Dharma” dengan d kecil berarti fenomena, termasuk orang, benda, kejadian, ide, waktu, ruang, dsb. “Dharma” dengan D besar berarti hukum, dalam pengertian hukum alam, dan itu berarti ajaran sang Buddha. Walaupun Ch’an melampaui semua konsep, dan semua hal yang bisa kita pahami atau definisikan, Ch’an sama sekali tidak mengesampingkan apapun.

Zhaozhou (Jo-Shu, 778-897 – ya, ia hidup seratus tahun lebih) menunjukkan hal ini kepada kita dalam sebuah koan: Suatu hari, seorang bhiksu yang sedang belajar di kuil Zhaozhou, datang kepada sang master dan berkata, “Saya bingung dan bodoh, tolong berilah suatu petunjuk dan ajaran”.

Zhaozhou bertanya, “kamu sudah makan buburmu?” Sang bhiksu menjawab, “Ya, sudah”.

Sang master berkata, “Maka pergilah dan cuci mangkukmu”.” Setelah mendengar hal itu, sang bhiksu merealisasi pencerahan.

Jika anda minum segelas susu dan saya berkata kepada anda, “Pergilah dan cuci gelasmu”, apakah anda pikir anda akan mendapat pengalaman pencerahan? Barangkali banyak orang tua di seluruh dunia yang mengatakan itu kepada anak mereka hari ini. Apakah anak-anak itu menjadi tercerahkan? Kita harus ingat latarbelakang dari cerita semacam ini; bhiksu tersebut kemungkinan telah berpraktek untuk waktu yang lama. Pikiran seseorang yang telah lama berpraktek itu lurus dan sangat murni.

Apapun yang kita kerjakan bisa dianggap sebagai latihan Ch’an. Tak ada apapun yang kita kerjakan yang tidak termasuk praktek. Tetapi juga tidak sesederhana itu.

Dalam sebuah cerita lain seorang bhiksu bertanya kepada seorang master, “Apakah Ch’an itu?”.

Sang master menjawab, “Bila engkau lapar, makanlah; bila engkau lelah, tidurlah”.

Setelah menerima ajaran ini, sang bhiksu berkata, “Setiap orang makan ketika lapar dan tidur ketika lelah. Apakah itu berarti setiap orang berada dalam keadaan Ch’an?”.

Sang master menjawab, “Ketika kamu sedang makan, apakah kamu makan dengan pikiran yang menyatu sepenuhnya? Ketika kamu sedang tidur, bukankah kamu juga bermimpi aneka macam?”.

Dalam sebuah cerita terkenal lainnya, seorang bhiksu berkata kepada Master Zhaozhou, “Semua dharma (maksudnya segala sesuatu) kembali ke yang Satu. Kemanakah yang Satu tersebut kembali?”. Kalimat ‘Semua dharma kembali ke yang Satu’ me

ngacu langsung kepada praktek, dimana kita mengkonsentrasikan pikiran yang terpencar dan mencapai keadaan satu-pikiran. Ketika kita bicara tentang kesatuan yang kembali ke sesuatu, itu kedengarannya mirip dengan konsep religius bahwa segala sesuatu berasal dari dan kembali kepada Tuhan.

Master Zhaozhou menjawab, “Ketika aku di Propinsi Ching, kuminta dibuatkan sebuah jubah yang beratnya tujuh pound”. Ia ditanya suatu pertanyaan filosofis yang mendalam dan abstrak, tetapi ia memberikan jawaban biasa yang nampak kabur. Mungkin nampaknya pertanyaan itu tidak terjawab oleh jawabannya tersebut. Tetapi amatilah lebih cermat lagi. Maksud Zhaozhou sederhana. Yang ia katakan adalah bahwa ia telah kembali dari Ching dengan sebuah jubah baru yang indah dan ia senang dengannya. Apapun yang ditanyakan siapapun, ia akan menjawab, “Aku baru saja minta dibuatkan jubah baru ini”.¹⁰

Anda tidak harus menggunakan konsep-konsep filosofis untuk menyelidiki kebenaran. Pertanyaan tentang kemanakah yang Satu itu kembali tidaklah penting. Filsuf yang paling brilian maupun buruh paling tak terampilpun harus makan dan tidur dan ke kamar mandi. Mengapa kita cenderung berpikir ada suatu kebenaran yang hanya terbatas bagi sang filsuf brilian? Ch’an tidaklah menentang penyelidikan filosofis, atau kebrilianan, tetapi kita tak harus menggunakan konsep-konsep dan ide-ide yang canggih untuk mencari kebenaran pamungkas. Kebenaran pamungkas ada di sekeliling kita dan tepat di hadapan kita sepanjang waktu, dalam kehidupan biasa sehari-hari kita.

Apakah makna dari contoh-contoh ini? Apapun yang anda kerjakan, betapapun biasanya, apapun yang anda lihat di hadapan anda bukan lain adalah Ch’an. Tetapi tak ada apapun yang secara sendirian merupakan Ch’an utuh.

Kategori