Sampai titik ini kita telah meninjau Ch’an itu sendiri, tetapi apakah pandangan Ch’an tentang hidup kita dan tujuan dari hidup kita?
Ada beberapa level pandangan atau pemahaman tentang hidup dalam Ch’an – karena Buddhisme mengetahui bahwa pandangan hidup setiap orang bergantung pada perspektif dan level perkembangannya. Jika anda melihat segala sesuatu secara mendalam, maka itulah pemahaman anda. Jika anda melihat hanya yang dangkal saja, maka itulah pemahaman anda. Ch’an adalah segala fenomena. Dengan kata lain, semua hal besar dan kecil selaras dengan ajaran Ch’an. Ini adalah sebuah pandangan yang mendalam tentang hidup, dan hanya sedikit saja dari kita yang dapat memahaminya.
Apabila anda memandang hidup ini tidak punya sasaran atau tujuan, anda barangkali akan merasa bahwa hidup ini kosong dan tak berarti. Kalau hidup anda nampak tak punya arti, anda bisa bertanya-tanya, “Mengapa saya bersusah-susah untuk hidup?”. Anda bisa merasa bahwa anda tidak lebih dari sekedar menghambur-hamburkan manfaat bumi ini.
Konfusius berkata, “Makanan dan seks, inilah insting manusia”. Maksudnya, hasrat untuk terus eksis dan dorongan untuk berketurunan merupakan sisi binatang dari hakekat manusia. Inilah pandangan hidup manusia yang terendah, dan kita dapat menyebutnya pandangan hidup binatang. Hidup hanyalah suatu pencarian makanan, tempat tinggal, dan membuat keturunan, sebagaimana layaknya binatang. Tiada punya tujuan lain. Inikah sikap hidup anda?
Sebuah variasi dari pandangan hidup ini adalah meyakini bahwa eksistensi manusia itu spontan, tanpa sebab dan tujuan. Orang dengan pandangan ini hanyut dan membiarkan situasi menentukan sendiri. Apakah anda kenal ada orang yang menjalani hidup mereka menurut pemahaman hidup level-binatang ini?
Kita bisa menyebut sebuah pandangan hidup kedua sebagai perspektif “terdelusi” (deluded) atau “tolol”. Ini adalah satu tahap sedikit di atas pandangan binatang. Orang dengan pandangan ini percaya bahwa yang penting adalah bertarung dan berjuang untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan. Mereka menumpuk kekayaan dan memburu kekuasaan serta posisi untuk melindungi kesejahteraan mereka dan anak cucunya.
Pada jaman dahulu seorang pejabat penting pemerintahan mengunjungi seorang bhiksu luar-biasa yang tinggal di sebuah pohon. Bukanlah aneh bagi seorang pejabat di jaman itu untuk meminta bimbingan dari seorang bhiksu. Para pejabat Cina di pilih melalui sistem ujian yang keras, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang berpendidikan serta berbudaya tinggi. Banyak bhiksu dan master Buddhist juga orang berpendidikan, dan mereka bijak, jadi ceramah dan petunjuknya menarik para pejabat. Bahkan para kaisarpun meminta bimbingan dari para master Ch’an.
Seperti yang saya katakan tadi, master ini tinggal di sebuah pohon yang tinggi. Sang pejabat berkata padanya, “Master, anda berada dalam situasi yang sangat berbahaya”.
Sang master menjawab, “Aku tidak dalam bahaya apapun.
Akan tetapi, kamulah yang berada dalam situasi yang berbahaya”. Sang pejabat bertanya, “Bagaimana saya bisa berada dalam situasi yang berbahaya? Saya kepala pemerintahan daerah. Saya selalu dikawal dan dilindungi oleh banyak orang. Bagaimana kok bisa situasi saya berbahaya?”.
Sang master menjawab, “Bumi, air, api, dan angin secara terusmenerus mengesalkanmu [elemen-elemen yang diyakini oleh orang Cina pada masa itu menyusun semua fenomena fisik]. Proses kelahiran, sakit, usia tua, dan kematian dapat mempengaruhimu kapan saja. Ketamakan, kemarahan, kebodohan, dan arogansi terus menyertaimu. Bagaimana kamu bisa mengklaim bahwa kamu tidak sedang dalam situasi yang berbahaya?”.
Sang pejabat itu cerdas dan mempunyai akar karma (potensi karma) yang baik untuk kebijaksanaan. Ia segera paham dan berkata, “Master, memang, saya berada dalam posisi yang jauh lebih buruk dari anda”.
Umat manusia terdelusi; di dunia ini, sebenarnya tidak ada tempat yang benar-benar aman.
Seseorang yang pandangan hidupnya terdelusi adalah seperti seekor anjing yang mengejar ekornya sendiri, karena yakin bahwa itu adalah seekor anjing lain. Ia mengejar ekornya memutari pohon, sambil berpikir, “Biar kutangkap anjing kotor itu!”. Ia tidak akan pernah berhasil mengejar ekornya sendiri, sama seperti kekayaan, kekuasaan, kesuksesan, dan prestise tidak bakal pernah bisa menjamin keamanan hidup kita. Pada akhirnya anjing tersebut mati,
Spirit Ch’an sama seperti kita. Ketika anjing tersebut mati, ia tidak tahu apa arti hidup ini atau mengapa ia mati. Ia tidak sadar bahwa ia selama ini telah mengejar ekornya sendiri. Demikian juga pandangan hidup yang terdelusi, dan banyak sekali dari kita yang hidup dengan cara ini.
Jikalau pandangan bahwa tujuan dari hidup adalah berjuang untuk keamanan dan kesejahteraan itu dikatakan pandangan yang terdelusi, pandangan apa yang dipegang oleh seorang bijak? Di sini kita bicara tentang kebijaksanaan duniawi, dan yang kita maksud adalah seseorang yang hidup mengikuti prinsip-prinsip ideal dan cita-cita. Kebanyakan dari kita cenderung percaya bahwa kita tergolong kategori ini.
Sebuah contoh seseorang yang memiliki kebijaksanaan duniawi adalah artis yang mencurahkan diri pada keindahan dan pewujudannya. Proses penciptaan sebuah karya seni bisa jadi menyakitkan, tetapi ketika karya tersebut selesai, melihat atau mendengarkannya bisa menjadi suatu pengalaman yang indah, baik bagi sang kreator maupun khalayak pemirsanya. Dalam prosesnya sang artis bisa diperindah, dan demikian juga dunia. Pengalaman keindahan internal sang artis bisa mentransformasikan lingkungan. Meskipun ia sedang bekerja, ‘dalam’ dan ‘luar’ tidak dialami sebagai terpisah. Sang artis mengenali bahwa seluruh semesta adalah satu karya seni yang kreatif.
Sering dunia nampak indah bagi sang artis ketika ia sedang terlibat secara kreatif, tetapi tatkala ia harus menghadapi dunia biasa, hidup mungkin tidak nampak seindah itu lagi. Saya kenal seorang pelukis yang karyanya benar-benar indah. Ia sangat berbahagia bilamana berbicara dengan orang lain mengenai lukisan dan seni. Tetapi ketika percakapan bergeser keluar dari topik seni, ia jadi mudah marah dan bertemperamen buruk. Ia membuat hidup menjadi sulit bagi istri serta teman-temannya.
Para artis bisa mengalami momen-momen indah, momenmomen ketakterpisahan antara diri dan non-diri, tetapi ini bersifat sementara. Hidup biasanya tidak selalu indah; dan lebih sering, aspek yang tak terlalu indah dari kehidupan inilah yang kita alami.
Beberapa scientist yang hidupnya dicurahkan untuk menganalisa dan mengamati dunia fisika, juga menunjukkan pandangan hidup yang bijak. Mereka mengalami ketak-terbatasan alam dan dari situ menarik kesimpulan tentang ketakterbatasan dari apa yang ada di dalam diri mereka. Walau mereka mungkin hanya mengamati materi, tetapi dengan pemahaman yang tajam mereka bisa melihat suatu totalitas yang tak-terbatas. Dapatkah mereka menggunakan sains untuk menemukan makna kehidupan? Itu tidak mungkin.
Seorang ilmuwan pernah berkata kepada saya, “Shih-fu, sains dan Buddhisme mencapai kesimpulan yang sama, jadi jika saya memburu sains, tak ada perlunya lagi mempelajari Buddhisme”. Saya berkata, “Kesimpulan apa itu?”.
“Buddhisme”, katanya, “mengatakan bahwa tidak ada batas untuk fenomena. Sains juga telah sampai pada kesimpulan yang sama. Buddhisme berkata semua fenomena adalah kosong, dan sains, dengan analisisnya tentang materi pada level yang paling kecil, juga menemukan tak ada substansi yang permanen. Kesimpulan-kesimpulannya identik”.
Saya menjawab, “Tidak, keduanya sama sekali berbeda. Dapatkah sains menjelaskan mengapa anda lahir di dunia ini?”.
Ia berkata, “Oh itu sederhana. Ibu saya yang melahirkan saya”.
Saya bertanya, “Mengapa ibu anda melahirkan anda dan bukan seseorang lain?”.
“Ibu saya melahirkan saya, dan itu cukup. Tidak perlu ia punya seorang anak lain”.
Saya bertanya, “Lalu mengapa anda lahir dari ibu ini dan bukan yang lainnya?”. Ia tidak punya jawaban itu itu, jadi saya bilang, “Ini menunjukkan bahwa anda tidak jelas tentang pertanyaan-pertanyaan fundamental semacam itu: anda tidak punya jawabannya”. Akhirnya, saya bertanya, “Mengapa anda datang ke dunia ini dan dalam kehidupan ini? Kemana anda akan pergi dari sini?”.
Sains bisa menunjukkan kepada kita bahwa fenomena adalah tak-terbatas dan kosong, tetapi ia tidak bisa menjawab pertanyaan tentang tujuan hidup manusia dan apa yang akan terjadi pada kita setelah mati. Itulah sebabnya banyak ilmuwan akhirnya mengadopsi suatu keyakinan religius atau percaya pada Tuhan atau suatu dewa lain. Bahkan Einstein-pun religius. Di Taiwan, para ilmuwan sering menjadi Buddhist, karena sains tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia.
Para filsuf bisa juga bijak. Mereka hidup sesuai dengan ideaidea yang dipahami dengan baik, dan mereka secara sadar berusaha menerapkan ideal-ideal dan prinsip-prinsip mereka ke dalam kehidupan sehari-hari.
Kaum religius merupakan sebuah kelompok lain yang mencari kebijaksanaan. Seorang yang religus menjalani hidupnya menurut prinsip-prinsip dan sasaran-sasaran yang diakui, dan mengatur hidupnya sesuai dengan keyakinannya. Makna hidupnya didasarkan pada mematuhi hukum Tuhan dan pada pengharapan bergabung dengan Tuhan dalam kerajaan surga-Nya setelah mati.
Sang individu dan Tuhan, di satu sisi, terhubung menjadi satu; di sisi lain, mereka independen. Ini memperbaiki kelemahan dari sang artis, ilmuwan, dan filsuf, yang beresiko kehilangan identitas mereka tatkala menyatu dengan seni, sains, atau filosofi mereka. Akan tetapi, seseorang yang percaya pada Tuhan memandang dirinya sendiri sebagai mempunyai suatu identitas kekal yang independen, atau jiwa. Bagi banyak orang, pentinglah untuk mempunyai rasa identitas ini. Kalau tidak mereka merasa kosong
Pandangan Ch’an tentang hidup berbeda dari kebijaksanaan duniawi. Di dalam pandangan Ch’an, tujuan hidup adalah pencerahan – yakni: pelepasan diri (the letting-go of the self). Kita harus menempuh tiga tahap untuk sampai pada pembuyaran diri. Pertama, kita harus memperkokoh diri kita sendiri; kedua, mematangkan diri; dan ketiga, membuyarkan diri. Ini disebut pandangan realistik tentang hidup manusia, karena didasarkan pada realitas yang ultimit.
Tahapan-Tahapan The Letting Go of The Self (Pelepasan Diri):
Mengokohkan-diri
Mengokohkan diri sendiri berarti mengokohkan tujuan, sasaran, makna, dan nilai dari hidup seseorang, dan mau melihat diri sendiri secara jujur dan jernih. Orang bertanya, “Mengapa kita lahir di dunia ini dan dalam kehidupan ini?”. Pandangan Buddhist adalah bahwa kita di sini untuk menerima buah karma kita, dan juga untuk memenuhi cita-cita atau ikrar kita.
Kita harus memahami bahwa dalam satu masa kehidupan, perbuatan-perbuatan kita, baik atau buruk (yang menciptakan buah karma), dan hasil dari perbuatan-perbuatan itu (buahnya), adalah relatif terbatas dibanding dengan beribu-ribu kehidupan yang telah kita jalani. Apa yang kita kerjakan dan apa yang kita terima pada saat ini sering tidak sesuai. Sebagian orang nampak tidak berbuat banyak kebaikan, namun lahir dengan kekayaan atau mendapat kesuksesan dengan mudah. Sebagian lainnya bekerja keras sepanjang hidupnya, namun hampir tidak bisa memberi makan dirinya sendiri. Mereka tidak mencapai apapun, hubungan-hubungan pribadinya tidak berhasil, dan nampaknya menjalani hidup yang penuh dengan penderitaan. submedia
Mengapa ada perbedaan-perbedaan semacam ini? Untuk menjawab ini, kita harus memahami buah karma. Masa-kehidupan yang sekarang ini didahului oleh tak-terhitung masa kehidupan sebelumnya, dimana kita melakukan beraneka-agam perbuatan berbeda. Konsekuensi dari perbuatan-perbuatan ini mencapai masa kehidupan ini dan kehidupan-kehidupan di masa depan sampai semua hasil dari perbuatan-perbuatan itu muncul. Kemudian kita akan menerima buah-karma penuh atas kebaikan dan keburukan yang telah kita lakukan. Salah satu alasan kita dilahirkan adalah untuk membayar utang karma kita dari masamasa kehidupan sebelumnya. Apa yang diteruskan dari satu masakehidupan ke masa kehidupan berikutnya? Benih-benih karma yang telah kita tanam: perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan, baik dan buruk, yang belum melahirkan buah.
Saya sendiri lahir dengan banyak problem fisik dan sering sakit ketika kanak-kanak. Saya bertanya pada diri sendiri, “Mengapa kesehatan saya sedemikian buruk? Apakah ibu saya tidak adil, melahirkan saudara lelaki dan perempuan yang sehat, dan melahirkan saya dengan sakit-sakitan begini?”. Sekarang saya mengerti bahwa ini bukanlah perbuatan ibu saya. Ia tidak punya pilihan. Tubuh saya saat lahir adalah hasil dari benih-benih karma sebelumnya. Tetapi banyak dari kita merasa bahwa dimana dan kapan kita lahir, dan keseluruhan bagian kehidupan kita ini, adalah tidak adil.
Kita juga datang ke dunia ini untuk memenuhi cita-cita dan ikrar kita. Sebuah ‘ikrar’ dalam Buddhisme adalah janji atau sumpah terkuat yang bisa dibuat seseorang.
Masing-masing kita punya cita-cita dan pernah membuat sumpah dan ikrar. Bukankah itu benar? Dan bukankah kita semua juga membuat banyak janji-janji yang tidak kita tepati? Orang yang sedang dimabuk cinta menjanjikan segala macam hal, tetapi mereka sering melupakannya begitu mereka menikah. Setiap janji yang belum dipenuhi pada akhirnya akan harus dibayar. Kita datang ke dunia untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kita dan membayar utang-utang kita.
Sejauh ini, saya bicara tentang mengokohkan-diri. Setelah meneguhkan diri, kita harus mematangkan diri kita.
Mematangkan-diri
Proses pematangan mencakup meninggalkan fokus-kepedulian yang hanya pada diri sendiri serta meng-reorientasikan diri anda sediri kearah memikirkan kepentingan makhluk hidup lain. Maka anda akan siap untuk menanggung beban ketidaknyamanan, kesulitan, dan penderitaan bagi orang lain. Menyelamatkan makhluk hidup dari penderitaan, sebagaimana yang diikrarkan kaum Buddhist, mengharuskan anda untuk memberikan apa yang dibutuhkan waktu, uang, atau segala upaya anda. Ketika anda memberi, mungkin nampak bahwa anda kehilangan sesuatu, tetapi itu hanyalah pandangan egois. Seorang bodhisattva, seorang makhluk tercerahkan, tidak punya pemikiran untung atau rugi. Kesejahteraan makhluk hidup lainlah yang penting. –
Secara sukarela meninggalkan keuntungan pribadi, secara aktif membantu dan, bila perlu, menderita demi makhluk hidup, adalah sikap yang tepat, atau “pandangan benar”. Bilamana perbuatan-perbuatan kita demi kepentingan orang lain bersifat sukarela, penderitaan kita sendiri akan berkurang. Adalah ketika: penderitaan dan kekesalan terjadi di luar kemauan kita, maka segala penderitaan itu menjadi sulit ditanggung. Mereka yang ada di Jalan Bodhisattva, walaupun masih di tahap permulaan, harus mengabaikan keuntungan pribadi mereka sendiri meski mungkin tidak enak. Dan apabila makhluk hidup yang kita bantu tidak menunjukkan terima-kasih, kita jangan menyesal. Inilah kebijaksanaan dan belas-kasih.
Melampaui-diri
Terakhir, kita harus meng-transenden (melampaui) diri. Tahap perkembangan ketiga dan terakhir ini, menurut Ch’an, adalah kebebasan sempurna dari diri. Setelah kita sepenuhnya melepaskan diri, kita mengembalikan manfaat dari pencapaian kita pada masyarakat dan dunia. Kita mempersembahkan segalanya, apapun yang kita miliki dan apapun yang telah kita capai, kepada semua makhluk, Makhluk hidup bisa memetik keuntungan dari upaya-upaya kita, tetapi kita tidak mengalami untung atau rugi. Inilah tiada-diri, tahap pencerahan yang dalam.
Jikalau anda mencapai pencerahan mendalam anda tak perlu lagi mendengar saya bicara tentang pandangan hidup, karena anda tidak akan lagi punya suatu pandangan hidup tertentu. Dalam Ch’an, pandangan hidup yang final dan transenden adalah tiada pandangan hidup sama sekali. Dengan demikian, apa yang masih bisa dikatakan? Mempunyai suatu pandangan hidup adalah kondisi dari orang biasa. Meng-transenden konsep ini adalah kondisi dari orang yang tercerahkan secara mendalam. Orang semacam ini menjalankan apapun tugas yang dihadapi.is Ada banyak gong’an (dalam bahasa Jepang: koan) Ch’an yang
mengilustrasikan poin ini. Salah satunya sebagai berikut: seorang rahib bertanya, “Adakah tempat dimana tak satu helai rumputpun tumbuh?”.
Sang master menjawab, “Bila engkau melangkah keluar pintu – setiap tempat penuh dengan rumput wangi”. Dan kemudian ia menambahkan, “Kamu dapat pergi ke seluruh penjuru dunia – dan kamu akan melihat tak ada rumput wangi”. glubb
Saya dapat menyusun kembali pertanyaannya sebagai, “Dimanatempat dimana anda tidak bisa melihat sehelai rumputpun?”
kah satu Jawabannya sangat spesial dan nampak sangat aneh, “Tak peduli kemanapun kamu memandang, rumput wangi ada dimanamana”, disusul dengan, “Kamu bisa menjelajahi seluruh penjuru dunia, tetapi kamu takkan melihat rumput wangi”. Kalau setiap tempat dipenuhi dengan rumput wangi, maka anda tidak akan mengenalinya atau memberinya nama. Sebagai contoh, jika setiap makhluk di dunia ini adalah seekor anjing, maka tak akan ada alasan untuk menyebut apapun sebagai ‘anjing’. Realitas kehidupan ada terlihat di mana-mana. Ch’an adalah segala fenomena, dan semua dharma adalah Buddhadharma. Ini hanyalah masalah menyadarinya atau tidak. Tetapi jika anda dengan sengaja mencari akan realitas kehidupan ini, anda takkan pernah mendapatkannya.
Sebuah gong’an lain menceritakan tentang dua rahib Ch’an yang sedang bepergian dan melewati sebuah kuil yang terpencil dan terbengkalai. Salah seorang rahib butuh kencing, jadi ia kencing di aula kuil tersebut, di depan patung Buddha. Rahib satunya memarahinya: “Lihat, sang Buddha ada di sini. Bagaimana kamu bisa kencing di sini?”.
Rahib pertama bertanya, “Katakan dimana tempat yang tidak ada Buddha, dan aku akan kencing di sana”.
Rahib satunya berkata, “Buddha ada di mana saja”. Rahib pertama dengan gembira berkata, “Kalau begitu, aku bisa kencing dimana saja”.
Jika realitas kehidupan tampak nyata di mana-mana, anda mungkin bertanya-tanya mengapa kita mengembangkan pandangan hidup binatang, pandangan hidup terdelusi, dan bahkan pandangan kebijaksanaan duniawi. Dalam Buddhisme kita bicara tentang “kebodohan tanpa awal”. Konsep ‘tanpa awal’ adalah sesuatu yang unik pada Buddhisme. Secara umum, berbagai filosofi dan agama bicara tentang suatu permulaan atau penyebab pertama (prima kausa), tetapi Buddhisme tidak. Buddhisme bicara tentang ‘ketiada-awal-an’. Ketika orang bertanya, “Darimanakah ‘ketiada-awalan’ ini berasal?”. Shakyamuni Buddha sendiri memilih untuk tetap diam dan tidak memberikan jawaban. Jadi bagaimana mungkin saya berani mencoba menjawabnya? Mencoba menjawab pertanyaan ini secara intelektual adalah suatu jebakan. Hanya kebijaksanaan yang bisa menjawabnya.